Notification

×

Iklan

Iklan

Diperingati Setiap Tanggal 1 Oktober, Berikut Sejarah Hari Kesaktian Pancasila

Jumat, 30 September 2022 | 21.20 WIB Last Updated 2022-09-30T14:22:27Z

Pages/Halaman:
Dapatkan berita terupdate dari SAFAHAD.MY.ID di:
Advertisement
Swipe Up
SAFAHAD - Inilah sejarah Hari Kesaktian Pancasila yang jatuh pada tanggal 1 Oktober setiap tahun.
Diperingati Setiap Tanggal 1 Oktober, Berikut Sejarah Hari Kesaktian Pancasila
SAFAHAD - Inilah sejarah Hari Kesaktian Pancasila yang jatuh pada tanggal 1 Oktober setiap tahun. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila dilakukan atas dasar memperingati dan menghormati jasa para pahlawan revolusioner yang gugur dalam peristiwa Gerakan 30 September atau G30S.

Sebagai informasi, Hari Kesaktian Pancasila dan Hari Lahir Pancasila berbeda. Peringatan kedua hari itu memperingati Pancasila sebagai dasar negara.

Hari lahir Pancasila yang dijadikan dasar negara diperingati pada tanggal 1 Juni setiap tahun . Sedangkan Hari Kesaktian Pancasila terkait dengan peristiwa G30S 30 September 1965.

Hari Kesaktian Pancasila
Sejarah Hari Kesaktian Pancasila diperingati pada tanggal 1 Oktober setiap tahun dan dikaitkan dengan peristiwa G30S. Peristiwa G30S terjadi pada tanggal 30 September 1965.

Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, enam jenderal berpangkat tinggi dan beberapa lainnya diculik dan dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang diyakini setia kepada PKI.

Mereka yang menjadi korban adalah enam pejabat tinggi Angkatan Darat, yakni:

1. Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/ Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi/ Panglima Angkatan Darat)
2. Mayjen TNI Raden Suprapto (Panglima AD Bidang Administrasi/ Deputi II Menteri)
3. Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Panglima AD Bidang Perencanaan dan Pembinaan/ Deputi III Menteri)
4. Mayjen TNI Siswondo Parman (Panglima AD Bidang Intelijen/ Asisten I Menteri)
5. Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Panglima AD Bidang Logistik/ Asisten IV Menteri)
6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Oditur Jenderal Angkatan Darat/ Inspektur Kehakiman)

Selanjutnya, Korban G30S ditemukan pada 3 Oktober 1965 di sebuah lubang
Korban G30S ditemukan pada 3 Oktober 1965 di sebuah lubang di kawasan Pondok Gede Jakarta. Lubang ini sekarang dikenal sebagai Lubang Buaya. Sasaran utama insiden itu adalah Jenderal TNI Abdul Harris Nasution, yang justru selamat dari pembunuhan itu.

Namun, putrinya beliau, Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya Lettu CZI Pierre Andreas Tendean meninggal. Tak hanya beberapa perwira yang tewas dalam peristiwa tersebut. Beberapa orang lain juga menjadi korban, yakni:

1. Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/ Pamungkas, Yogyakarta)
2. Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/ Pamungkas, Yogyakarta)
3. Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal Kediaman Resmi Wakil Perdana Menteri II dr. J. Leimena)

Pasca pembunuhan beberapa perwira ini, PKI tidak menyerah. Mereka dapat mengontrol dua fasilitas telekomunikasi penting: studio RRI Jalan Merdeka Barat dan kantor telekomunikasi Jalan Merdeka Selatan.

Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September Itu ditujukan untuk perwira senior yang menjadi anggota "Dewan Jenderal" dan mencoba melakukan kudeta terhadap pemerintah. Selain itu, juga diumumkan Pembentukan "Dewan Revolusi" yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.

Pada 1 Oktober 1945, Presiden Sukarno dan Sekjen PKI Aidit memandang pembentukan Dewan Revolusi sebagai bentuk pemberontakan PKI. Pemerintah kemudian memutuskan untuk mencari perlindungan dan pindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta.

Selanjutnya, Sukarno mengimbau rakyat untuk "persatuan nasional"
Pada tanggal 6 Oktober, Sukarno mengimbau rakyat untuk "persatuan nasional", persatuan antara angkatan bersenjata dan para korban, dan penghentian kekerasan.

Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan ormas untuk mendukung 'pemimpin revolusi Indonesia' dan tidak menentang angkatan bersenjata.

Pernyataan tersebut kemudian dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".

Pada 16 Oktober 1965, Sukarno mengangkat Mayor Jenderal Suharto sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana. Lima bulan kemudian, pada 11 Maret 1966, Sukarno memberikan kekuasaan tak terbatas kepada Suharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret.

Sukarno memerintahkan Suharto untuk mendapatkan kembali ketenangan dan mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk melindungi keselamatan dan wibawanya. Kekuasaan yang tidak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI.

PKI dilarang ada atau berkembang di wilayah Indonesia. Sebagai pengakuan atas prestasinya, Sukarno menjadi Presiden Tituler Diktatur Militer hingga Maret 1967.

Setelah kejadian ini, tanggal 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September (G30S) dan hari berikutnya, 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Editor: Abdul Hamid
×
Latest Update Update
CLOSE